Naga Intan di Tiga Tahun

Intan bersama berjemur bersama bonekanya
Intan bersama berjemur bersama bonekanya

Hampir sebulan lalu, Arimbi Naga Intan berusia 3 tahun. Tanggal 13 April 2015, pada hari itu aku berada di Semarang untuk pelatihan penulisan cerita perubahan. Sudah kami agendakan untuk merayakan ulang tahunnya tidak di tanggal tersebut, karena aku sedang di luar kota. Aku dan ibu sepakat untuk menunda perayaan sampai aku tiba di Yogyakarta lagi. Namun, sampai dengan hari ini 12 Mei 2015, belum juga terealisasi keinginan kami. Begitu sibukkah diriku? Padatnya jadwal keluar kota, membawa konsekuensi Intan sering memintaku berganti baju rumahan setiap pagi sebelum aku berangkat kerja, memintaku di rumah berdua dengannya, tiduran dan bersantai.

Diluar rasa prihatinku terhadap peranku yang minim sebagai ibu, ada rasa bangga yang sedikit mengobati kekhawatiranku. Kemarin pagi, Intan memecahkan foto Kakung-Uti yang ditaruh di atas kulkas. Masih kurang terampilnya dia mengambil sedotan yang berada di atas kulkas, membuat foto dinding tersebut jatuh dan berantakan. Kakung marah melihat bingkai foto hancur, menyesali mengapa Intan tidak minta tolong diambilkan. Mungkin Kakung lupa jika Intan selalu ingin mencoba dahulu melakukannya secara mandiri. (Makanya aku akan tanya “butuh bantuan Intan?”, setiap kali ia mencoba hal baru). Singkat cerita, pagi itu suara di rumah menjadi hiruk pikuk dan terdengar beberapa teriakan keras karena Kakung marah. “Nek mau ngomong arep njupuk kan iso tak njupukke”, sesal Kakung. Melihat Kakungnya marah, Intan melihat ke arah Kakungnya, sambil berkata tanpa ada rasa takut “Maas (baca: Maaf) Kung, maas”. Kalimat itu ia ulang hingga 3 kali. “Nanti kan bisa dilem”, imbuhnya ingin memberikan solusi.

Aku geli mendengar kalimatnya pagi itu. Tak lama kemudian, Kakung mendekati Uti, menceritakan bahwa Intan sempat minta maaf kepadanya. Kakung menganggap perilaku tersebut hasil dari pemrosesan antara kognitif, emosi, dan sosial, selain beliau juga merasa perilaku tersebut lucu. Setelah mendengar obrolan antara Kakung dan Uti, aku baru merenung mengenai peristiwa tersebut. Aku baru menyadari bahwa Intan sudah mampu berperilaku asertif. Alhamdulillah, aku merasa satu pendidikan yang telah kami ajarkan bersama berhasil Intan kuasai. Intan ternyata bisa. Aku menjadi percaya diri untuk mengajarkan perilaku-perilaku lain agar ia bisa beradaptasi di lingkungan sosial.

Menyikapi Kelulusan

Dear Pengasuh Buah Hati
Pengumuman kelulusan yang belum lama ini telah membuat anak saya sedih karena ternyata ia harus ‘mengulang’. Saya menyadari jika nilai yang diraih anak saya memang masih belum mencapai standar sehingga memang ia belum bisa dikatakan ‘lulus’. Padahal saya melihat sendiri anak saya sudah berusaha belajar rajin untuk mempersiapkan ujian nasional. Ia tidak mengenal lelah belajar terutama pada bagian-bagian yang dirasa sulit dan belum dikuasai. Pada try out-try out sebelumnya, ia selalu bisa mencapai nilai yang melebihi standar kelulusan. Oleh karena itu saya juga sangat kecewa ketika mengetahui jika anak saya tidak lulus, hal ini benar-benar di luar dugaan saya. Saya yakin, anak saya juga tidak siap dengan kondisi ini. Dia terlihat shock dengan hasil yang diperoleh. Sepulang dari sekolah, wajahnya masih memperlihatkan kekecewaan. Apalagi ketika ada yang bertanya tentang hasil, ia terlihat marah karena merasa ada yang tidak adil terhadapnya. Saya ingin membuatnya bersemangat lagi. Bagaimana caranya ya? Dia sudah tidak keluar kamar dua hari ini, pada hari pengumuman ia belum mau makan. Sejak kemarin sudah mau makan meskipun sedikit.
Yanti, Janti
Jawaban:
Ibu Yanti, saya mengerti apa yang ibu rasakan ketika menghadapi anak yang sedang sedih, kecewa, dan marah karena ia harus mengulang dalam Ujian Nasional. Dalam situasi yang butuh semangat untuk tetap maju ujian beberapa waktu mendatang, maka langkah yang bisa dilakukan orang tua adalah membesarkan hati anak. Caranya dapat diawali dengan menyediakan diri sebagai pendengar bagi semua perasaan anak. Peristiwa kemarin bukanlah hal yang kecil bagi anak. Bisa jadi ia merasa putus asa karena baginya lulus ujian adalah prestasi yang dapat ia banggakan dan dapat menghantarkan dia meraih cita-cita. Oleh karenanya bisa kita bayangkan betapa kecewa dan sedihnya ia ketika dinyatakan harus mengulang. Melalui mendengarkan, selain membuat ibu lebih memahami berbagai perasaan yang ia alami proses ini akan membantu anak mengurangi beban psikologisnya. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah belum diperlukan nasehat, sehingga ibu hanya menjadi pendengar aktif yang berempati. Kemudian, ibu bisa mulai merefleksikan perilaku dan tindakannya selama dua hari ini atas kekecewaannya. Upayakan ibu menggunakan kalimat yang menginginkan penjelasan, bukan kalimat penghakiman. Contoh kalimat yang bisa digunakan seperti “…jadi adik merasa sedih, lalu dengan berada di kamar terus apa yang adik rasakan kemudian?” Ketika anak mulai menceritakan pengalamannya selama mengurung diri di kamar, mengisolasi diri, makan tidak teratur, dan tidak peduli dengan kebersihan diri, maka dapat ibu gunakan sebagai pintu masuk mengkonfrontasi perilaku dengan perasaannya. Melalui proses ini diharapkan anak mulai memahami bahwa perilaku-perilakunya sama sekali tidak mendukung dalam mengurangi beban-beban perasaannya. Selain itu bisa juga berguna untuk mengkonfrontasi jika ada pendapat-pendapat anak yang kurang tepat, misalnya anak kadang beranggapan ibu dan bapak akan marah karena ia harus mengulang. Diperlukan pernyataan-pernyataan yang akan membuat anak merasa ia telah mengalami sesuatu yang bisa juga dialami orang lain dan tidak perlu khawatir untuk menghadapinya.
Jika anak mampu melalui tahapan-tahapan tersebut, ajaklah ia menyadari kondisi fisiologisnya lalu segera menindaklanjuti dengan memotivasinya untuk melakukan kebutuhan-kebutuhan primer seperti makan, membersihkan diri, dan istirahat (tidur). Setelah itu, secara fisiologis anak sudah lebih siap diajak berpikir logis seperti mengevaluasi perilakunya pasca membaca pengumuman dan merencanakan langkah selanjutnya. Kemudian, ibu bisa mengajak anak untuk mengkritisi apakah perilaku mengurung diri dan tidak merawat diri akan mengurangi kekecewaannya dan mendukung pada hasil yang lebih baik. Jika langkah ini berhasil, maka ibu sudah hampir sukses membesarkan hati anak tersayang. Anak akan siap diajak untuk merencanakan langkah selanjutnya untuk bersiap menghadapi tes mendatang. Akan lebih baik lagi jika ibu dapat membantunya menyusun rencana agenda sebagai persiapan ujian ulang. Terakhir, yakinkan anak bahwa ia mampu melakukan apa yang sudah ia rencanakan dan harapkan. Dan dukung dia untuk melakukan yang terbaik yang ia mampu lakukan.
Ibu Yanti, upaya ini akan lebih optimal jika dilakukan bersama dengan suami. Perlakuan ini akan membuat anak merasa ia mendapat dukungan untuk berusaha dari lebih banyak orang. Selain itu ia merasa orang tuanya menerima ia apa adanya sehingga tumbuhlah kepercayaan dirinya untuk mengusahakan yang terbaik yang mampu ia lakukan. Demikian bu Yanti, saya yakin ibu mampu melakukannya. Sukses untuk ibu dan putra.

* Dimuat di Harian Radar Jogja Minggu tanggal 13 Juni 2010

Marah di Depan Anak

Dear Rifka Annisa,
Saya ibu dari seorang anak yang genap berusia 2 tahun. Dulu ia adalah anak yang ceria, cepat memahami stimulasi lingkungan, ekspresif dengan perasaannya, serta mudah diberi pengertian. Saya dan suami senantiasa berusaha memberikan yang terbaik untuknya, seperti memilih mainan edukatif, membelikan buku cerita anak, dan memperhatikan makanan baginya agar penuh gizi serta nutrisi, karena kami ingin ia tumbuh optimal menjadi anak yang berprestasi. Bagus, demikian kami memanggilnya, juga termasuk anak yang mudah beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan. Jika ada orang yang baru dikenal, ia bisa menjawab pertanyaan seputar identitas dirinya tanpa rasa malu dan takut. Namun, beberapa minggu belakangan, saya mengamati perubahan pada Bagus. Ia menjadi lebih mudah menangis dan rewel. Saya semakin merasakan kesulitan menghadapi sikapnya yang selalu ingin dituruti semua keinginannya, mudah ngambek, dan menangis, dan sekarang sulit makan. Kami mulai bingung bagaimana cara menghadapi anak kami.

Komunikasi saya dan suami akhir-akhir ini saya rasakan kurang baik. Suami sering mengajak saya bertengkar di epan anak, meski sering saya ingatkan untuk membicarakan permasalahan dengan baik-baik di dalam kamar, tapi dia selalu mengabaikan karena menganggap Bagus belum mengerti. ”Seandainya tahu pun ia juga akan lupa, kan masih kecil”, begitu kata suami.

Apakah relasi saya dengan suami mempengaruhi perilaku Bagus? Saya ingin tahu bagaimana agar Bagus bisa kembali seperti dulu? Terima kasih atas jawabannya.
Santi, Ngawen

Jawab:
Terima kasih bu Santi atas suratnya. Pasti bahagia ya memiliki buah hati yang ceria, responsif, cerdas, dan percaya diri. Saya yakin ibu sudah mempersiapkan yang terbaik untuk Bagus, serta mampu membesarkan anak dengan sebaik-baik perlakuan. Tentu saja hal ini akan lebih baik jika dilakukan bersama suami, artinya ada kerjasama dan kekompakan dalam membesarkan serta mendidik anak.

Usia tiga tahun termasuk dalam golden ages yang mana menjadi momen penting untuk pengoptimalan tumbuh kembang otak anak melalui stimulasi dari lingkungan sekitar. Jika pada tahap ini anak diberi berbagai rangsangan positif, maka akan semakin banyak koneksi antar sel otak yang membuat semakin cepatnya proses pemahaman terhadap sesuatu. Oleh karenanya menjadi hal yang sangat mungkin jika pada usia dini ada anak yang bisa menghafal ratusan negara beserta bendera dan letaknya dalam peta dunia karena ia terus dilatih oleh orang tuanya tentang pengetahuan tersebut. Demikian juga jika anak mendapatkan input negatif, maka ia juga mampu merekam dengan sangat baik, seperti pengalaman buruk termasuk pertengakaran orang tuanya. Ingatan anak akan berpengruh terhadap kondisi emosional dan sosialnya. Termasuk jika anak melihat orang tuanya saling berselisih dan bicara keras, apalagi jika ada kekerasan fisik kepada pasangan. Mengapa hal ini mempengaruhi anak? Orang tua bagi anak adalah sesuatu yang bisa menciptakan rasa aman, terlindungi, dan nyaman. Pelukan, usapan, ucapan lembut menjadi bentuk aktivitas yang memberi kontribusi terciptanya perasaan aman pada anak. Bagus, belajar memperoleh rasa aman dari ibu dan ayahnya sehingga ia memiliki penerimaan pada diri. Penerimaan diri menajdi modal utama untuk percaya diri, mudah beradaptasi, dan toleran terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai dengan harapan (fleksibel). Sikap-sikap ini sudah mulai terlihat pada Bagus. Namun ia segera berubah karena melihat orang tuanya tidak lagi menunjukkan relasi yang baik-baik saja, dalam pengertian anak seusia Bagus. Selama ini anak memahami bahwa orang tuanya mampu memberikan rasa aman karena tidak pernah ada peristiwa yang membuat mereka saling berselisih lalu nampak seperti musuh satu sama lain. Jika hal ini terjadi maka bisa kita prediksikan anak akan merasa tidak nyaman, cemas, takut dan stres. Tentu saja ini berpengaruh pada cara dia merespon lingkungan, misalnya menjadi lebih sulit diberi pengertian sehingga orang tua merasa anak menjadi lebih sulit diatur. Jika kondisi ini berlangsung beberapa waktu, hingga bulanan bahkan sampai menahun, maka dmapak yang lebih buruk akan terjadi.

Hal yang penting juga adalah membicarakan dengan suami mengenai kondisi anak. Ajak suami untuk mencermati perubahan perilaku anak dan mengevaluasi kembali pola komunikasi yang selama ini dilakukan termasuk pengaruhnya terhadap anak. Momen ini juga akan bermanfaat bagi ibu Santi dan suami untuk berlatih membiasakan melakukan pola komunikasi yang sehat dengan pasangan. Ibu juga bisa melihat bagaimana pandangan suami terhadap tumbuh kembang anak dan pendidikan bagi anak. Sebaiknya, ibu dan suami tidak bosan untuk mempelajari keterampilan memecahkan masalah dan ‘bertengkar secara sehat’, agar ibu dan suami dapat menemukan jawaban dari setiap persoalan atau perbedaan pendapat yang muncul tanpa harus saling menyakiti dengan kata-kata kasar yang sekaligus bisa melukai jiwa si kecil yang turut menjadi penonton/ pendengar.

Demikian ibu Santi, semoga ibu dan suami semakin mahir sebagai orang tua yang senantiasa bertumbuh karena tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mendidik anak.
Salam hangat, redaksi Buah Hati

Dimuat di Radar Jogja tanggal 7 Februari 2010, Kolom Buah Hati Kita