Dear Rifka Annisa,
Saya ibu dari seorang anak yang genap berusia 2 tahun. Dulu ia adalah anak yang ceria, cepat memahami stimulasi lingkungan, ekspresif dengan perasaannya, serta mudah diberi pengertian. Saya dan suami senantiasa berusaha memberikan yang terbaik untuknya, seperti memilih mainan edukatif, membelikan buku cerita anak, dan memperhatikan makanan baginya agar penuh gizi serta nutrisi, karena kami ingin ia tumbuh optimal menjadi anak yang berprestasi. Bagus, demikian kami memanggilnya, juga termasuk anak yang mudah beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan. Jika ada orang yang baru dikenal, ia bisa menjawab pertanyaan seputar identitas dirinya tanpa rasa malu dan takut. Namun, beberapa minggu belakangan, saya mengamati perubahan pada Bagus. Ia menjadi lebih mudah menangis dan rewel. Saya semakin merasakan kesulitan menghadapi sikapnya yang selalu ingin dituruti semua keinginannya, mudah ngambek, dan menangis, dan sekarang sulit makan. Kami mulai bingung bagaimana cara menghadapi anak kami.
Komunikasi saya dan suami akhir-akhir ini saya rasakan kurang baik. Suami sering mengajak saya bertengkar di epan anak, meski sering saya ingatkan untuk membicarakan permasalahan dengan baik-baik di dalam kamar, tapi dia selalu mengabaikan karena menganggap Bagus belum mengerti. ”Seandainya tahu pun ia juga akan lupa, kan masih kecil”, begitu kata suami.
Apakah relasi saya dengan suami mempengaruhi perilaku Bagus? Saya ingin tahu bagaimana agar Bagus bisa kembali seperti dulu? Terima kasih atas jawabannya.
Santi, Ngawen
Jawab:
Terima kasih bu Santi atas suratnya. Pasti bahagia ya memiliki buah hati yang ceria, responsif, cerdas, dan percaya diri. Saya yakin ibu sudah mempersiapkan yang terbaik untuk Bagus, serta mampu membesarkan anak dengan sebaik-baik perlakuan. Tentu saja hal ini akan lebih baik jika dilakukan bersama suami, artinya ada kerjasama dan kekompakan dalam membesarkan serta mendidik anak.
Usia tiga tahun termasuk dalam golden ages yang mana menjadi momen penting untuk pengoptimalan tumbuh kembang otak anak melalui stimulasi dari lingkungan sekitar. Jika pada tahap ini anak diberi berbagai rangsangan positif, maka akan semakin banyak koneksi antar sel otak yang membuat semakin cepatnya proses pemahaman terhadap sesuatu. Oleh karenanya menjadi hal yang sangat mungkin jika pada usia dini ada anak yang bisa menghafal ratusan negara beserta bendera dan letaknya dalam peta dunia karena ia terus dilatih oleh orang tuanya tentang pengetahuan tersebut. Demikian juga jika anak mendapatkan input negatif, maka ia juga mampu merekam dengan sangat baik, seperti pengalaman buruk termasuk pertengakaran orang tuanya. Ingatan anak akan berpengruh terhadap kondisi emosional dan sosialnya. Termasuk jika anak melihat orang tuanya saling berselisih dan bicara keras, apalagi jika ada kekerasan fisik kepada pasangan. Mengapa hal ini mempengaruhi anak? Orang tua bagi anak adalah sesuatu yang bisa menciptakan rasa aman, terlindungi, dan nyaman. Pelukan, usapan, ucapan lembut menjadi bentuk aktivitas yang memberi kontribusi terciptanya perasaan aman pada anak. Bagus, belajar memperoleh rasa aman dari ibu dan ayahnya sehingga ia memiliki penerimaan pada diri. Penerimaan diri menajdi modal utama untuk percaya diri, mudah beradaptasi, dan toleran terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai dengan harapan (fleksibel). Sikap-sikap ini sudah mulai terlihat pada Bagus. Namun ia segera berubah karena melihat orang tuanya tidak lagi menunjukkan relasi yang baik-baik saja, dalam pengertian anak seusia Bagus. Selama ini anak memahami bahwa orang tuanya mampu memberikan rasa aman karena tidak pernah ada peristiwa yang membuat mereka saling berselisih lalu nampak seperti musuh satu sama lain. Jika hal ini terjadi maka bisa kita prediksikan anak akan merasa tidak nyaman, cemas, takut dan stres. Tentu saja ini berpengaruh pada cara dia merespon lingkungan, misalnya menjadi lebih sulit diberi pengertian sehingga orang tua merasa anak menjadi lebih sulit diatur. Jika kondisi ini berlangsung beberapa waktu, hingga bulanan bahkan sampai menahun, maka dmapak yang lebih buruk akan terjadi.
Hal yang penting juga adalah membicarakan dengan suami mengenai kondisi anak. Ajak suami untuk mencermati perubahan perilaku anak dan mengevaluasi kembali pola komunikasi yang selama ini dilakukan termasuk pengaruhnya terhadap anak. Momen ini juga akan bermanfaat bagi ibu Santi dan suami untuk berlatih membiasakan melakukan pola komunikasi yang sehat dengan pasangan. Ibu juga bisa melihat bagaimana pandangan suami terhadap tumbuh kembang anak dan pendidikan bagi anak. Sebaiknya, ibu dan suami tidak bosan untuk mempelajari keterampilan memecahkan masalah dan ‘bertengkar secara sehat’, agar ibu dan suami dapat menemukan jawaban dari setiap persoalan atau perbedaan pendapat yang muncul tanpa harus saling menyakiti dengan kata-kata kasar yang sekaligus bisa melukai jiwa si kecil yang turut menjadi penonton/ pendengar.
Demikian ibu Santi, semoga ibu dan suami semakin mahir sebagai orang tua yang senantiasa bertumbuh karena tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mendidik anak.
Salam hangat, redaksi Buah Hati
Dimuat di Radar Jogja tanggal 7 Februari 2010, Kolom Buah Hati Kita